Minggu, 27 Juni 2021

KELOMPOK YANG MENDAPAT NIKMAT

 

KELOMPOK YANG MENDAPAT NIKMAT

 =============

Satu-satunya surat di dalam Al-Qur’an yang selalu bahkan yang paling banyak kita baca setiap harinya adalah Al Fatihah. Karena itu, surat ini juga disebut dengan as sab’ul matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang), yakni diulang-ulang dalam membacanya, minimal 17 kali dalam 17 rekaat shalat yang lima waktu. Pada dua ayat terakhir dari tujuh ayat al fatihah, terdapat ayat yang artinya: Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (QS 1:6-7).

 

            Yang menjadi pertanyaan kita kemudian dan perlu kita bahas dalam tulisan ini adalah: siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang telah Allah anugerahkan nikmat kepada mereka?. Untuk menemukan jawabannya, maka  kita perlu merujuk kepada firman Allah di dalam surat An Nisa:69, karena di dalam ayat itu disebutkan tentang mereka yang diberi nikmat, ayat tersebut artinya: Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (QS 4:69).

 

            Oleh karena itu, amat penting bagi kita untuk membahas empat kelompok yang dianugerahi kenikmatan oleh Allah Swt, suatu kenikmatan yang tak ternilai harganya, bahkan tanpa kenikmatan ini, kenikmatan lainnya menjadi tak ada artinya, yakni nikmat diturunkannya agama Islam sebagai agama yang benar yang dipegang erat-erat dan diperjuangkan oleh empat kelompok ini. Dengan demikian, permohonan kita kepada Allah Swt untuk mendapatkan petunjuk dapat kita capai dengan gambaran yang jelas, yakni dengan meniru dan mengikuti pola hidup empat kelompok tersebut, bukan ingin memperoleh petunjuk tapi tidak mau mengikuti pola hidup sebagaimana kehidupan empat kelompok tersebut. Karena itu empat kelompok yang dimaksud perlu kita pahami

 

1.      NABI-NABI.

 

Para Nabi adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah Swt untuk menerima wahyu dan menyebarluaskannya kepada umat manusia. Karenanya para Nabi harus besikap benar, memiliki kesungguhan dalam perjuangan dan menegakkan nilai-nilai kebenaran itu dan siap menanggung resiko dalam perjuangan menegakkan nilai-nilai kebenaran, karena itu para nabi harus kita teladani dalam kehidupan ini dan manakala kita telah merneladaninya, berarti kita telah memperoleh hidayah sebagaimana yang kita minta di dalam surat al fatihah. Para Nabi atau Rasul yang harus kita teladani itu tercermin di dalam firman Allah yang artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS 33:21).

 

2.      SHIDDIQIN.

 

Secara harfiyah, shiddik artinya benar, ini berarti shiddiqin adalah orang yang selalu bersikap, berbicara dan bertingkah laku yang benar atau jujur. Para shiddiqin termasuk orang yang diberi nikmat oleh Allah karena dengan sikap, pembicaraan dan tingkah lakunya yang benar akan membuatnya selalu mengarah atau berorientasi pada kebaikan, sedangkan kebaikan akan mengantarkannya kepada syurga, ini merupakan kenikmatan yang sangat berarti, dalam suatu hadits,Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Hendaklah kamu bersikap jujur, karena kejujuran itu membawa kamu kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa kamu kepada syurga (HR. Bukhari).

 

Karena di dalam al fatihah kita amat berharap mendapat petunjuk sebagaimana Allah telah memberikan petunjuk itu kepada orang-orang yang diberi nikmat, itu berarti dalam hidup ini kita amat dituntut untuk meneladani para shiddiqin, bahkan dalam kehidupan sehari-hari, kita juga amat dianjurkan agar bergaul akrab dengan orang-orang yang shidik (benar) meskipun kita sudah menunjukkan ketaqwaan kita kepada Allah, Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang benar (QS 9:119).

 

3.      SYUHADA.

 

Syuhada merupakan salah satu kelompok yang mendapat kenikmatan dari Allah Swt. Secara harfiyah, syahid artinya orang yang menyaksikan. Syuhada adalah orang-orang yang mati syahid, mereka disebut syahid karena berjuang menegakkan agama Allah hingga kematian mencapai mereka dalam perjuangan itu, mereka menjadi saksi atas kebenaran yang diperjuangkannya, karena itu mereka memperoleh kenikmatan tersendiri disebabkan kematian mereka yang begitu mulia.

 

      Syuhada menjadi salah satu kelompok yang memperoleh kenikmatan dari Allah karena mereka mencapai derajat yang mulia, bahkan kematiannya jangan kita anggap sebagai kematian biasa, bahkan Allah menyatakannya hidup di sisi-Nya meskipun kebanyakan orang menganggap dia telah mati, Allah berfirman yang artinya: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya (QS 2:154).

 

      Karena syahid itu merupakan kematian yang begitu mulia, maka para sahabat dan para pejuang Islam sangat mendambakannya yang membuat mereka menjadi begitu berani dalam perjuangan, sedang keberanian mereka justeru menimbulkan rasa takut di dalam hati orang-orang yang tidak suka kepada Islam, ini pulalah salah satu faktor yang membawa keberhasilan dalam perjuangan Islam. Dalam konteks do’a di dalam al fatihah itulah, kita berarti harus menjadi orang yang sungguh-sungguh dalam menjalankan dan memperjuangan nilai-nilai Islam meskipun resikonya sangat besar.

 

4.      SHALIHIN.

 

Orang yang shaleh adalah orang yang selalu berusaha mewujudkan kebaikan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun masyarakatnya. Keshalehan dalam hidup ini merupakan tuntutan dari pengakuan kita sebagai orang-orang yang beriman. Karena itu, iman harus dibuktikan dengan amal yang shaleh dan amal shaleh harus dilandasi pada iman. Ini berarti iman tidak ada artinya bila tidak dibuktikan dengan amal shaleh dan sebaik apapun amal seseorang tidak ada nilai apa-apanya di sisi Allah bila tidak dilandasi pada iman.

 

      Manakala amal shaleh telah dilakukan oleh orang yang beriman, maka kenikmatan akan diperoleh dan dirasakannya, bahkan tidak hanya di dunia ini saja seperti mendapatkan rizki yang mulia, yakni riski yang halal, tapi juga di akhirat nanti berupa ampunan dari Allah Swt yang berarti mendapatkan kebahagiaan di akhitat dengan sebab telah diampuni kesalahan-kesalahan yang dilakukannya di dunia, salah satu ayat yang menyebutkan tentang keuntungan orang yang beramal shaleh adalah yang artinya: Maka orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shaleh, bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (QS 22:50).

 

      Karena kita berdo’a ingin mendapatkan petunjuk sebagaimana petunjuk yang telah Allah berikan kepada orang-orang yang shaleh, itu berarti kita dalam hidup ini mau dan berusaha seoptimal mungkin untuk menjadi orang-orang yang shaleh.

 

Dengan demikian, petunjuk yang kita dambakan adalah petunjuk jalan hidup yang lurus, yakni yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur’an.

Drs. H. Ahmad Yani.

Email: ayani@indosat.net.id

Karakteristik akhlak seorang Muslim

 

Karakteristik akhlak seorang Muslim

 

 

  1. Saliimul Aqidah ( Aqidah yang lurus /benar )

  2. Sohiihul ‘Ibadah ( Ibadah yang benar )

  3. Naafi’un li ghoirihi ( Berguna bagi orang lainnya )

  4. Matiinul Khuluq (Akhlak yang sempurna )

  5. Qadirul alal Kasbi ( Kemampuan berpenghasilan )

  6. Mutsaqqoful Fikri (Intelek dalam pemikiran )

  7. Qowiyyul Jismi ( Jasmani yang kuat )

  8. Mujaahidu li nafsihi (Bersungguh-sungguh thd diri sendiri )

  9. Munazhomu fii syu’nihi ( teratur dalam semua urusannya )

  10. Haritsun ‘ala waqtihi ( Efisien menjaga waktu )


 

I. Saliimul Aqidah ( Aqidah yang lurus /benar )

  1. Tidak meru’yah (mengambil hukum) selain al-Qur’an yang ma’tsur as- Sunnah

  2. Tidak berhubungan dengan jin

  3. Tidak meramal nasib dengan telapak tangan

  4. Tidak menghadiri majelis dukun dan peramal

  5. Tidak mengusap-usap kuburan, untuk tujuan meminta berkah

  6. Tidak minta tolong kepada orang yang berlindung kepada jin

  7. Tidak tasya’um (merasa sial karena sesuatu)

  8. Tidak bersumpah dengan selain Allah

  9. Ikhlas amal untuk Allah semata

  10. Mengimani rukun iman

  11. Mengimani ni’mat dan siksa kubur

  12. Menjadikan syetan sebagai musuh

  13. Tidak mengikut langkah-langkah syetan

  14. Menerima dan tunduk pada hukum Allah

  15. Mensyukuri Ni’mat Allah saat mendapatkan nikmat

  16. Tidak meminta tolong kepada orang yang telah dikubur

 

 II. Sohiihul ‘Ibadah ( Ibadah yang benar )

  1. Ihsan dalam thoharoh

  2. Bersemangat untuk sholat berjamaah di masjid

  3. Ihsan dalam sholat

  4. Berpuasa fardhu

  5. Berpuasa sunnah, minimal 7 hari sebulan

  6. Qiyamul Lail minimal 1 hari sepekan

  7. Membayar zakat (09:103)

  8. Komitmen dengan adab tilawah

  9. Khusyu dalam membaca Al-Qur’an

  10. Hafal 1 juz Al-Qur’an (30)

  11. Komitmen dengan wirid tilawah harian ( Al-ma’tsurat )

  12. Berdo’a pada waktu - waktu utama

  13. Menutup harinya dengan taubat dan istighfar

  14. Merutinkan dzikir pagi hari

  15. Menyebarluaskan salam

  16. Beri’tikaf pada bulan Ramadhan ( 10 hari terakhir )

  17. Mempergunakan syiwak

  18. Senatiasa menjaga kondisi thoharoh

  19. Niat melaksanakan haji

  20. Menjauhi dosa besar

  21. Merutinkan dzikir sore

  22. Dzikir pada Allah pada tiap keadaan

  23. Memenuhi nadzar

  24. Menahan anggota tubuh dari segala yang haram

  25. Bersemangat untuk berjamaah di masjid

  26. Tidak sungkan adzan

  27. Berniat pada setiap melakukan perbuatan

 

III. Naafi’un li ghoirihi ( Berguna bagi orang lainnya )

  1. Melaksanakan hak kedua orang tua

2.       Ikut berpartisipasi dalam kegembiraan

  1. Membantu yang membutuhkan

  2. Memberi petunjuk orang yang tersesat

  3. Menikah dengan pasangan yang sesuai/Sekufu

 

IV. Matiinul Khuluq (Akhlak yang sempurna )

  1. Tidak takabur

  2. Tidak Ima’ah ( asal ikut )

  3. Tidak dusta

  4. Tidak mencaci maki

  5. Tidak mengadu domba

  6. Tidak ghibah

  7. Tidak memotong omongan orang lain

  8. Tidak mencibir dengan alasan apapun

  9. Tidak menghina dan meremehkan orang lain

  10. Tidak menjadikan orang buruk sebagai teman / sahabat

  11. Menyayangi yang kecil

  12. Henghormati yang besar

  13. Memenuhi janji

  14. Birrul walidain

  15. Menundukkan pandangan

  16. Menyimpan rahasia

  17. Menutupi dosa orang lain

  18. Memiliki ghirah (rasa cemburu ) pada agamanya

  19. Memiliki ghirah (rasa cemburu) pada keluarganya

 

 

 

 

 

 V. Qadirul alal Kasbi ( Kemampuan berpenghasilan )

  1. Menjauhi sumber penghasilan haram dan menjauhi riba

  2. Menjauhi riba

  3. Menjauhi judi dengan segala macamnya

4.       Menjauhi tindak penipuan

  1. Membayar zakat

  2. Menabung meskipun sedikit

  3. Tidak menunda waktu melaksanakn hak orang lain/ janji

  4. Menjaga fasilitas umum

  5. Menjaga fasilitas khusus

 

VI. Mutsaqqoful Fikri (Intelek dalam pemikiran )

  1. Baik dalam membaca dan menulis

  2. Membaca 1 juz tafsir Al-Qur’an juz 30

  3. Memperhatikan hukum-hukum tilawah

  4. Menghafalkan separuh hadits Arba’in

  5. Menghafalkan 20 hadits pilihan dari Riyadhus Sholihin

  6. Mengkaji marhalah Makiyah dan menguasai karakteristiknya (Manhaj Haraki : Syaikh Munir Al-Ghodban)

  7. Mengenal 10 sahabat yang dijamin masuk surga

  8. Mengetahui hukum thoharoh ( Fiqh Sunnah : Sayyid Sabiq )

  9. Mengetahui hukum sholat

  10. Mengetahui hukum puasa

  11. Membaca sesuatu yang di luar spesialisasinya, 4 jam setiap pekan

  12. Memperluas wawasan diri dengan sarana-sarana baru

  13. Menyadari adanya perang Zionisme dengan Islam

  14. Mengetahui Ghozwul Fikri

  15. Mengetahui organisasi-organisasi terselubung

  16. Mengetahui bahaya pembatasan kelahiran

  17. Menjadi pendengar yang baik

  18. Berpartisipasi dalam kerja-kerja jama’I

  19. Tidak menerima suara-suara miring tentang Islam

  20. Mengemukakan pendapat

 

VII. Qowiyyul Jismi ( Jasmani yang kuat )

  1. Bersih badan

  2. Bersih pakain

3.       Bersih tempat tinggal

  1. Komitmen dengan adab makan dan minum sesuai dengan sunnah

  2. Komitmen dengan olahraga minimal 2 jam/ pekan

  3. Bangun sebelum fajar

  4. Memperhatikan tata cara membaca yang sehat

  5. Tidak merokok

  6. Menghindari tempat kotor…..

  7. Menghindari tempat-tempat bencana jika masih di luar area

 

VIII. Mujaahidu li nafsihi (Bersungguh-sungguh thd diri sendiri )

  1. Menjauhi segala yang haram

  2. Menjauhi tempat-tempat bermain yang haram

  3. Menjauhi tempat-tempat maksiat

 

 IX. Munazhomu fii syu’nihi ( teratur dalam semua urusannya )

  1. Memperhatikan penampilan (performance)

  2. Tidak menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga yang menentang dengan Islam

 

 

X. Haritsun ‘ala waqtihi ( Efisien menjaga waktu )

  1. Bangun pagi

  2. Menghabiskan waktu untuk belajar

 

KULTUM 1 Allah Yang Menamai Anda Muslim

Allah Yang Menamai Anda Muslim
Beruntunglah Anda, karena ternyata "Allah-lah yang menamai anda Muslim sejak
dahulu" (QS Al-Hajj 78). Jika anda melakukan ini, memilih Islam sebagai agama dan jalan kehidupan dengan kesadaran AKAL yang penuh, dan dengan dorongan PERASAAN yang tulus dan ikhlas, serta menjalaninya sebagai SIKAP dan PERILAKU dalam kehidupan pribadi, keluarga, sosial dan pekerjaan "Idkhulu Fis al-Silmi Kaaffah" (Masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh) (QS Al Baqarah:208).

Tiga Tangga Berislam

Setiap kita harus melalui tiga tangga untuk mengaktualisasikan Islam dalam
berbagai dimensi kehidupan kita; AFILIASI, PARTISIPASI, KONTRIBUSI.

AFILIASI adalah kita memahami dengan baik mengapa kita memilih Islam sebagai
agama dan jalan hidup, yang membentuk Komitmen Aqidah kita kepada Islam, memahami satuan-satuan ajaran Islam sebagai sistem dan tatanan kehidupan sehingga kita mampu membaca dan memahami berbagai peristiwa dan masalah kehidupan dalam kacamata Islam, yang membentuk Komitmen Metodologi (syariah) kita kepada Islam, menjadikan Islam sebagai akhlak dan perilaku sehari-hari kita, sebagai pribadi, dalam keluarga, dalam masyarakat, dan dalam pekerjaan, yang membentuk Komitmen Sikap (Akhlak) kita kepada Islam. Inilah tahap Iman dan Amal Sholeh.

PARTISIPASI adalah setelah kita melalui tahap diri sendiri dalam lingkaran
khusyu' Iman dan Amal Saleh, kita mulai terlibat dalam kehidupan sosial masayarakat Muslim sebagai salah satu peserta sosial yang Sadar dan Proaktif.
Ada tiga hal yang harus Anda lakukan untuk ini;

1.. Memiliki rasa keprihatinan yang tinggi terhadap masalah-masalah kaum
muslimin, sebab Nabi kita bersabda "Siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka ia bukan dari golongan mereka"
2.. Memiliki sejumlah pengetahuan sosial-humaniora yang dibutuhkan dalam
kehidupan bermasyarakat, agar keterlibatan kita dilakukan secara sadar, terarah dan dewasa "Berilmulah sebelum beramal" kata Imam al Bukhari
Kita juga harus mengetahui dan menguasai peta dan medan lingkungan sosial budaya
dimana kita hidup, agar kita tahu cara memasuki dan merubah masyarakat kita ke arah Islam. Disini kita menjadi DA'I.

KONTRIBUSI adalah bahwa kita harus memilih satu bidang spesialisasi ilmu atau
profesi dimana kita yakin bahwa dalam bidang tersebut kita bisa jadi expert (ulung). Kita tidak bisa menjadi segalanya, dan takkan pernah sanggup melakukan segalanya. Kemampuan kita terbatas. Maka kita harus tahu dimana persembahan kita yang setulus-tulusnya kepada Islam dan Umatnya.
Ada empat bidang kontribusi yang diusulkan

1.. Kontribusi Pemikiran/Ilmiah (menjadi pemikir atau ilmuwan)

2.. Kontribusi Kepemimpinan (menjadi pemimpin)

3.. Kontribusi Profesional (menjadi Profesional)

4.. Kontribusi finansial (menjadi entrepreneur).
"Sungguh, semua manusia akan merugi, kecuali; manusia beriman, beramal saleh,

berwasiat kepada kebenaran, berwasiat kepada kesabaran' (QS Al-Ashr 1-3).

 

PERJALANAN MENEMUKAN JATI DIRI

Menyerap Islam Kedalam Kepribadian Kita
Selalu ada pertanyaan yang tersisa bagi mereka yang telah memutuskan untuk menjadikan dirinya sebagai Model Manusia Muslim yang menjadi simbol pesona Abad 21. Persoalan itu adalah bagaimana ia mengadaptasikan kualifikasi manusia Muslim Ideal itu kedalam kerangka ruang kepribadiannya. Itu karena, wadah kepribadian kita terbatas, kita hanya bisa menjadi muslim yang ideal dalam batasan wadah kepribadian itu.

Untuk itu kita harus melakukan tiga langkah :

1.. Mengetahui kualifikasi Model Manusia Muslim. Dan ini sudah dijelaskan
sebelumnya
2.. Mengetahui dan mengenal diri kita sendiri dengan baik dan

3.. Melakukan pengadaptasian antara model ideal dengan kepribadian dan potensi diri kita yang riil.

 

Mengapa Kita Perlu Mengenal Diri Sendiri ?

Mengapa kita perlu mengenal diri kita sendiri ? Karena,

1.. Allah mengatakan "Bertaqwalah kepada Allah menurut kemampuanmu" (QS Al-Taghabun 16)". Ini berarti bahwa Allah mengetahui keterbatasan kita sebagai
manusia, dan dalam keterbatasan kita itulah Ia ingin kita berislam
2.. Nabi kita tercinta, Muhammad SAW, juga bersabda, "Allah merahmati
seseorang yang mengetahui kadar kemampuan dirinya". Sebab dengan mengetahui kadar kemampuan diri sendiri kita bisa memposisikan diri secara tepat dalam berbagai situasi kehidupan
3.. Ibnul Qoyyim juga mengatakan "
Ada dua pengetahuan paling penting dan mendasar bagi setiap Muslim, Ma'rifatullah (pengetahuan tentang Allah), dan Ma'rifatunnafs (pengetahuan tentang diri sendiri).

 

Tiga Tingkatan Konsep Diri

Apa yang dimaksud dengan mengenal diri sendiri atau konsep diri ? Konsep diri
biasanya diartikan sebagai; "VISI kita tentang diri kita, tentang A sampai Z dari ruang kepribadian kita, persepsi kita tentang diri kita, cara kita melihat dan memandang diri kita, yaitu diri kita yang kini ada dan diri kita yang kita inginkan di masa mendatang". Dalam pengertian ini setiap orang memiliki konsep diri, tapi ada yang menyadarinya, ada pula yang tidak menyadarinya.

Nah, siapakah yang membentuk visi kita tentang diri kita ? Ini adalah tingkatan
konsep diri :

1.. Aku Diri, yaitu diri kita seperti yang kita pahami

2.. Aku Sosial, diri kita seperti yang dipahami orang lain (lingkungan
keluarga, sosial, pergaulan, kerja dan organisasi)
3.. Aku Ideal, diri kita seperti yang sebaiknya ada dan yang kita inginkan di
masa mendatang. Aku Ideal kita adalah Model Manusia Muslim yang telah disebutkan.
Karena Aku Diri dan Aku Sosial bisa benar bisa salah, maka keduanya harus
diletakkan dalam konteks Aku Ideal. Dengan begitu kita menyerap Aku Ideal kedalam Aku Diri. Maka Abu Bakar al-Shidiq mengajari kita sebuah doa," Ya Allah, ampunilah aku atas apa yang tidak mereka ketahui tentang diriku, dan jadikanlah aku lebih mulia dari apa yang mereka duga".

 

 

MERENCANAKAN PENGEMBANGAN DIRI
MEMBANGUN RUMAH SENDIRI DI AKHIRAT


Merenungi Sejarah Sang Rasul


Pernahkah anda mencoba meruntut jejak-jejak kehidupan sang Rasul tercinta,

Muhammad SAW ? Perhatikanlah tiga tahapan penting dalam kehidupannya :


1.. Sebelum kenabian dari usia 0 sampai 40 tahun

2.. Dakwah di Mekkah dari usia 40 sampai 53 tahun (atau selama 13 tahun)

3.. Dakwah di Medinah dari usia 53 sampai 63 tahun (atau selama 10 tahun).
Usia 40 tahun pertama dibagi du tahap, (1) Sebelum menikah, 0 sampai 25 tahun, (2) Setelah menikah, 25 sampai 40 tahun. Pada usia 25 tahun pertama, beliau telah menyerap seluruh pengalaman dasar kehidupan, hidup di pedalaman padang pasir Bani Sa'ad yang memberinya kekuatan fisik dan kedekatan dengan alam, merasakan kesendirian ketika ayah, ibu dan kakek tercinta meninggal yang memberinya ketabahan dan kemandirian, bekerja mencari nafkah dengan mengembala kambing dan berdagang, pengalaman internasional dengan ikut serta dalam kafilah dagang Abu Thalib, pengalaman militer dalam perang Fijar, pengalaman diplomasi politik, berdagang bersama Khadijah sampai menikah dengannya. 15 tahun sebelum menjadi Rasul beliau terlibat penuh dengan dalam berbagai kegiatan sosial sebagai manusia dewasa, menjadi pemersatu dalam konflik
pemasangan Kiswah Ka'bah sampai digelari al-amin, bertahannuts di Gua Hira
selama 3 tahun (37-40 tahun) sebagai wacana pengkondisian spiritual menjelang kenabian sampai beliau menerima wahyu.

Setelah menjadi Rasul beliau melakukan dakwah di Mekkah dalam tiga tahap; (1)
Dakwah secara rahasia terhadap individu-individu potensial tertentu selama 3 tahun, (2) Dakwah kolektif secara terbuka selama 7 tahun, (3) Persiapan pembentukan masyarakat Islam Madinah selama 3 tahun. Ketika berada di Madinah, beliau juga melakukan dakwah dalam tiga tahap; (1) Konsolidasi dan peneguhan eksistensi masyarakat Islam yang baru berdiri selama 1 tahun, (2) Menciptakan
dan mempertahankan stabilitas negara dari invasi militer luar selama 5 tahun,
(3) Mulai melakukan jihad ekspansi dan perluasan wilayah Islam selama 4 tahun terakhir dari usia beliau.

Demikianlah Rasul kita tercinta, Muhammad SAW, menjalani hidup yang sarat dengan
misi, sarat beban, sarat hasil dalam satu melodi Life Time Chart yang begitu indah. Jika beliau memulai kenabian dengan wahyu Iqro' ('bacalah':QS A-alaq 1), maka beliau menutupnya dengan wahyu "Al yauma Akmaltu Lakum Diinakum" (Hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu; QS Al-maidah:3). Dan untuk kesuksesan serta keteladanannya, beliau menyebut kata kuncinya; "Allah-lah yang mendidikku, maka Ia mendidikku sebaik-baiknya."

Membangun Rumah Sendiri di Negri Akhirat


Merencanakan atau mebuat proyeksi pengembangan, dengan begitu, merupakan bagian
dari cara kita meneladani Rasul kita, Muhammad SAW. Ini masalah yang teramat penting bagi setiap muslim, karenanya Allah berfirman; "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap jiwa melihat apakah kiranya yang telah ia siapkan untuk hari esoknya, (sekali lagi) bertakwalah kepadaNya, karena Ia mengetahui semua yang kamu lakukan."(QS al-Hasyr 18). Dan "orang pintar itu," kata Rasulullah SAW,"adalah orang yang berjuang menundukkan dirinya dan bekerja untuk hari sesudah matinya."(Tirmizi dan Ahmad). Jadi, merencanakan pengembangan diri itu seperti membangun rumah sendiri di akhirat.

 

Apakah anda sudah punya Master Plan dan Maketnya ? Kalau mau jadi orang pintar, buatlah dulu master plan dan maket itu ! Kalau kita punya master plan untuk hari esok, maka; (1) Kita dapat menjalani hidup lebih mudah, lebih efektif dan efisien, (2) "Niat seorang mukmin lebih baik dari amalnya." Jadi kalau kita mati sebelummelakukan semuanya, kita sudah dapat pahala niat.

 

BAGAIMANA MEMBANGUN MOTIVASI DAN KEMAUAN ?

Kekuatan Kemauan

"Orang mukmin yang kuat lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah."
sabda Rasulullah SAW. Dan sesungguhnya yang membuat seseorang menjadi begitu kuat, salah satunya yang terpenting adalah kekuatan kemauannya. Karena kemauan yg kuat, kekuatan akal dan keberanian bertemu padu.

Mengumpulkan Tenaga

Inilah langkah pertama, mengumpulkan tenaga.
Sebab kemauan adalah jembatan yang menghubungkan pikiran dengan tindakan, karena itu kemauan kita bergantung kepada tenaga fisik dan jiwa kita sekaligus. Jika tenaga fisik dan jiwa kita kuat, maka kemauan kita juga akan menguat. Dan inilah langkah-langkahnya :

1.. Kesadaran yang jelas, kuat dan terus menerus akan TUJUAN HIDUP kita, atau
titik akhir yang ingin kita capai dalam hidup. Dan ini hanya mungkin terjadi jika tujuan hidup serta target-target jangka panjang, menengah, dan pendek kita terdefinisi dengan jelas.
2..
Mengetahui MANFAAT dari suatu perbuatan atau pekerjaan, sebab manfaat itu memiliki daya dorong yang tinggi terhadap jiwa kita. Manfaat itu bisa bersifat duniawi, bisa juga ukhrawi.
3..
Jangan MEMBUANG TENAGA secara percuma.
Ada beberapa hal yang sering menguras tenaga saraf dan jiwa secara berlebihan, seperti marah, terlalu banyak bicara, mencari penghargaan orang lain. Karena itu Rasulullah SAW mengatakan; "Jangan marah dan kamu akan masuk syurga." Dan "orang mukmin itu tidak terlalu banyak bicara." Dan prinsip ikhlas kita untuk tidak menjadikan penghargaan orang lain sebagai tujuan dari tindakan kita.
4..
Meninggalkan masalah-masalah sepele. Sebab masalah-masalah besar masih jauh lebih banyak. Nabi kita bersabda,"Diantara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah bahwa ia meninggalkan urusan yang tidak penting baginya."
5..
Kemampuan berkonsentrasi, karena perhatian dan pikiran yang pecah akan menguras terlalu banyak tenaga dan akhirnya melelahkan kita.
6..
Istirahat dan tidur yang cukup.

 

Menggunakan Tenaga

Inilah langkah kedua.
Ada bebrapa prinsip yang berlaku disini:

1.. KETERATURAN. Ini merupakan salah satu nilai Islam yang mengharuskan adanya schedule yang jelas bagi seluruh aktifitas kita. Schedule yang baik adalah schedule yang dipelajari dan dibangun diatas suatu VISI, STRATEGI, dan PERENCANAAN hidup yang baik dan matang. Karena itu Ali mengatakan, "Kebenaran
yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir"
2.. KESEIMBANGAN. Artinya, semua dimensi hidup kita harus diberi hak secara seimbang. Sebab, keluarga kita punya hak atas kita, badan kita juga demikian dan seterusnya.

3..
MODERASI. Artinya sifat pertengahan (I'tidal) dalam segala hal dan menghidari sifat berlebihan, termasuk dalam ibadah. Sebab Rasul SAW mengatakan,"hanya dengan sifat pertengahan (sederhana) kamu akan sampai (tujuan)."
4..
FOKUS. Prinsip ini mengharuskan kita menentukan TARGET sebagai fokus yang ingin kita capai. Sebab fokus membantu kita berkonsentrasi dan memusatkan penggunaan tenaga.

 

Mengembalikan Tenaga

Setelah menggunakan tenaga, kita harus mampu mengembalikannya lagi melalui cara
berikut,

1.. KHALWAT. Khalwat adalah kegiatan yang sangat dianjurkan Rasulullah SAW dan beliau lakukan selama 3 tahun menjelang kenabian. Ini berguna dalam mengembalikan kesegaran jiwa dan konsentrasi.

2..
MUHASABAH. Evaluasi membantu kita melakukan perbaikan selanjutnya.
3..
PERJALANAN. Travelling berguna dalam memberi inspirasi kepada kita
4.. PENJADWALAN KEMBALI. Merubah dan dan menjadwal ulang semua kegiatan akan
memberi penyegaran jiwa dan semangat baru bagi kita.
MARI KITA KUATKAN KEPRIBADIAN KITA DENGAN KEKUATAN KEMAUAN.


SEMOGA ALLAH MEMBANTU DAN MEMUDAHKAN PERJUANGAN KITA.


Khairu Ummah

 Khairu Ummah


Ustadz Abdul Hasib Hasan
Ketua Bidang Pembinaan Kader DPP PK


“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dariyang munkar, dan beriman kepada Allah…” [QS 3:110]

Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kita untuk mentakwin (membentuk) ummat untuk bersatu. Kalau kita perhatikan ayat-ayat yang memerintahkan tentang persatuan, maka terlihat jelas bahwa perintah untuk berjamaah dan bersatu itu tidak berhenti hanya pada terbentuknya jamaah dan persatuan itu, tapi kemudian bagaimana jamaah dan persatuan yang telah terbentuk itu selanjutnya bisa mengemban risalah da’wah. Risalah amar ma’ruf nahi munkar.

Dan yang perlu kita perhatian dari ungkapan ”ya’muruna bil ma’ruf yanhauna anil munkar” memiliki makna mendalam bahwa tidak sekedar kita bisa berda’wah menyampaikan yang ma’ruf dan meninggalkan yang munkar, tapi dari ungkapan amr dan nahi itu baru betul-betul dikatakan amr dan nahi kalau posisi kita sudah diatas. Ketika kita menggulirkan kebijakan yang sifatnya mengikat dan posisi kita berada di atas, barulah dia betul-betul sebagai amr (perintah). Begitu juga ketika kita melarang, baru betul-betul larangan yang efektif kalau itu berupa kebijakan yang turun dari atas. Jamaah ini juga perlu merekayasa dan terus berusaha agar posisi-posisi strategis bisa kita peroleh. Dari situlah amr ma’ruf dan nahi munkar betul-betul bisa kita terapkan.

Sementara itu kata ma’ruf juga belum dikatakan suatu yang ma’ruf –sekalipun itu kebijakan yang sifatnya dari atas dan mengikat- kalau belum betul-betul mengakar di tengah-tengah masyarakat. Sebab al-ma’ruf itu seperti didefinisikan oleh Thoriq Al Asfahani adalah ma arofahu al-aqlu was syar’u, sedangkan munkar adalah ma ankarohu al-aqlu was syar’u. Dalam artian bahwa sekalipun sudah berupa kebijakan yang sifatnya mengikat –sesuatu yang baik yang harus dilakukan- tapi kalau dimasyarakat masih suatu yang asing, belum mengakar dan membudaya, dan belum mendapatkan dukungan mayoritas, maka belum betul-betul merupakan yang al-ma’ruf. Tetapi itu suatu kebaikan yang masih munkar. Artinya kebaikan yang masih dirasakan asing.

Begitu juga kemunkaran, tidak cukup dengan adanya ketetapan atau kebijakan yang sifatnya mengikat yang menolak kemunkaran, tetapi bagaimana dia juga harus disikapi sebagai sesuatu yang munkar. Artinya yunkiruhu an-naas, keberadaannya itu ditolak sehingga orang merasakan sesuatu yang betul-betul janggal ketika kemunkaran muncul ditengah-tengah masyarakat. Dan inilah risalah kita.

Dari ungkapan ya’muruna bil ma’ruf wa yanhauna ‘anil munkar mengandung makna yang sangat dalam, bagaimana agar lewat jamaah ini kemudian kita bisa secara bertahap merekayasa posisi-posisi strategis. Bisa kita peroleh dan raih kemudian dari situ kita bisa menurunkan kebijakan-kebijakan yang bisa mengikat, dan di sisi lainnya bagaimana kita berupaya mensosialisasikan kebenaran itu sehingga betul-betul bisa diterima dan memasyarakat dan mendapatkan dukungan. Begitu juga sebaliknya dalam kemunkaran.

Ketika peran ini kita lakukan secara berkesinambungan dan ketika kebenaran itu bisa ditegakkan serta dikokohkan maka berangsur-angsur kemunkaran akan terkikis habis. Ketika peran ini kita lakukan maka barulah keterlibatan kita dalam berjamaah itu mempunyai nilai. Jadi nilai dari sebuah jamaah itu adalah ketika kita telah melakukan peran kita sebagai jamaah bukan memangkas keterlibatan kita dalam jamaah itu.

Oleh karena itu Muhammad Quthb ketika menjelaskan tentang kuntum khairi ummah ukhrijat linnas mengatakan bahwa khairiyyatul ummat itu terletak bukan pada waktu sahabat berada dekat Rasulullah saw, tapi khairiyyahnya itu terletak pada peran yang mereka lakukan yaitu ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar wa tu’minuna billah. Ketika peran ini dilakukan dalam berjamaah maka khairiyyah itu akan dinisbatkan. Jadi sifat khairiyyah ini bukan merupakan sifat yang khusus diberikan pada para sahabat saja, tetapi sifat itu juga akan diberikan kepada setiap ummat yang mengemban risalah amar ma’ruf nahi munkar.

Dan begitu pentingnya peran ini sehingga didalam surat yang dikemukakan diatas (QS 3:110) dikedepankan penyebutan amar ma’ruf nahi munkar ketimbang menyebutkan keimanan. Penempatan amar ma’ruf nahi munkar yang dikedepankan tinimbang keimanan ini menunjukkan bahwa masalah amar ma’ruf nahi munkar memiliki posisi yang sangat penting dan strategis. Maka ketika peran ini telah kita lakukan maka baru akan mendapatkan julukan khaira ummah dan dengan sendirinya al-falah akan datang, ulaikahumul muflihun.

 

PEMUDA YANG MEWAKILI SEBUAH UMMAT

 

PEMUDA YANG MEWAKILI SEBUAH UMMAT

Masyarakat muslim cukup unik binaan strukturnya. Islam mendidik individu-individunya agar setiap orang daripada mereka menjadi satu unit yang lengkap lagi melengkapi. Dia seumpama batu-bata yang teguh, disusun bersama batu bata yang lain dalam binaan yang besar. Proses ini bermula sejak pembentukan masyarakat Islam
pertama di bawah petunjuk Nabawi. Antara seruan pertama Islam ialah sabda Rasul s.a.w (yang bermaksud):

“Allah memberi hidayah melalui kamu seorang lelaki lebih baik bagi kamu daripada unta Humr an-Ni’am (jenis unta yang paling tinggi nilainya)” [Muttafaq ‘alaih)

Semenjak saat itu, setiap individu daripada generasi awal Islam memikul fikrah Islamiah dan aqidah yang
murni dalam pemikiran mereka, begitu juga keimanan yang mendalam dan mantap di dalam jiwa-jiwa mereka.

Sehingga ianya terserlah dalam kata-kata, tingkah laku dan gerak diam mereka.

Setiap individu di kalangan mereka seolah-olah membentuk sebuah umat. Sebagaimana sabda Nabi s.a.w terhadap peribadi Abu ‘Ubaidah al-Jarrah:

“Dia diutuskan sebagai sebuah umat”

Khalid al-Walid di medan perang mewakili sebuah umat. Beliau bertanggungjawab melemah dan menumbangkan Rom di tanah Arab. 

‘Abdul Rahman bin ‘Auf di dalam bidang ekonomi mewakili sebuah umat. Dialah yang berperanan memecahkan monopoli Yahudi di Madinah yang sekian lama sebelumnya menguasai kegiatan ekonomi Madinah.

‘Umar al-Khattab dalam soal keadilan mewakili sebuah umat. Lorong-lorong Madinah dijelajahinya untuk menangani permasalahan rakyat. Gabenor dan penguasa dihimpun setiap tahun untuk dikaji siasat. Perhimpunan haji saban tahun dijadikan tele-aduan umat.

Mus’ab bin ‘Umair pula dalam usaha da’wah mewakili sebuah umat. Tiada satu rumah di Madinah melainkan dimasuki sinar da’wah Islamiah dan petunjuk al-Quran.

Mu’az bin Jabal dalam soal halal haram mewakili sebuah umat. Zaid bin Thabit dalam soal hukum hakam pusaka mewakili sebuah umat. Banyak dan banyak lagi contoh individu di kalangan mereka yang sedemikian.

Benarlah kata-kata Abu Bakar as-Siddiq yang menyifatkan:

"La Yuhzamu Jayshun Fihi Al-Qa’Qa Ibn Amr - Sawtu Al-Qa’Qa Fil Ma’arakati Ya’dulu Alfa Rajulan"
“Takkan terkalahkan tentera didalamnya ada al-Qa’qa ibn Amr, Suara Qa’qa’ di medan perang menyamai seribu pahlawan”.

Bukankah beliau mampu menyusun kembali tentera muslimin yang kucar kacir, menaikkan semangat juang mereka, mengacau bilaukan musuh, mencari titik kelemahan mereka dan lain-lain lagi.

Sewaktu pembukaan Mesir oleh tentera Islam di bawah Amr al-’As, Umar al-Khattab telah mengirim 4 ribu tentera sebagai tambahan. Pasukan tambahan tentera ini disertai oleh Zubair al-’Awwam, Miqdad bin Amr, Ubadah bin Shamit dan Muslimah bin Mukhlid, yang dikatakan setiap orang bernilai lebih dari seribu orang. Saydina Umar memberi amanat kepada Amr bin al-’As, "Kamu harus tahu bahawa kamu mempunyai 12 ribu tentera, dan 12 ribu tentera tidak akan dikalahkan disebabkan bilangan mereka". Dan berlakulah pembukaan Mesir yang agung di dalam sejarah Islam.

Setiap seorang daripada mereka hanyalah seorang individu, tetapi dengan tekad kemahuan serta amal kerja, dia seolah-olah sebuah umat, mengubah wajah sejarah dengan usahanya itu. Sebagaimana yang dikatakan:

“Amal praktik seorang lelaki di kalangan seribu lelaki lebih baik daripada kata-kata seribu lelaki kepada seorang lelaki”.

Mereka berusaha seolah-olah tiada sesiapa di sekelilingnya yang turut bekerja bersamanya.
Seolah-olah dia ingin memulakan binaan Islam dengan tangannya dan menyempurnakannya dengan tulang empat keratnya.

Kesungguhan inilah yang didapati oleh ‘Umar al-Khattab di kalangan tenteranya. Beliau berkata:

“Sungguh mengkagumkan aku, panglima perang yang jika kamu melihatnya, kamu menyangkanya seorang tentera bawahan yang patuh. Mengkagumkan aku juga, tentera bawahan yang jika kamu menyaksikannya, kamu menyangkanya seorang panglima berkaliber”.

Lantaran ini, mereka telah merubah sejarah dunia, memimpin dan membinanya dengan baik.

Tiada seorang pun di kalangan mereka yang memperkecilkan dirinya atau apa yang dilakukannya. Mereka amat memahami sabda Rasulullah s.a.w:

“Sampaikan daripada aku walaupun sepotong ayat”
[Diriwayatkan oleh al-Bukhari]

Amal kerja dan sumbangan mereka tidak terhenti di satu tahap, bahkan ke penghujung nafas yang terakhir. Lihatlah Abu Ayyub al-Ansori yang mati syahid di pinggir pagar kota Konstantinople dalam usianya 80 tahun. Pada saat kematiannya, dia tidak menghentikan sumbangannya kepada Islam, bahkan menyampaikan kepada muslimin sebuah hadis yang pernah didengarnya daripada Nabi s.a.w:

“Sekiranya Kiamat berlaku sedangkan di tangan salah seorang daripada kamu anak pokok, maka tanamkanlah ia”
[Diriwayatkan oleh Ahmad]

Nilai dan sikap ini satu fenomena biasa di dalam masyarakat muslim pada sepanjang zaman. Setiap individunya menjadi batu-bata kepada binaan Islam yang agung. Mereka saling memperkukuhkan yang lain dalam segenap bidang dan lapangan. Hasil usaha mereka yang gigih, sesiapa yang melihat binaan Islam akan berkata: Alangkah indahnya! Alangkah hebatnya Islam!

Dengan penuh tawadhu’ dan ikhlas, mereka tidak rela diri mereka hidup dengan kehidupan haiwan yang didambakan oleh mereka yang kufur kepada Allah.

“Dan orang-orang yang kafir berseronok dan makan seperti binatang ternakan makan. Nerakalah tempat mereka” [Muhammad: 12]

Mereka tidak akan duduk berpeluk tubuh melihat sekeliling tanpa melakukan sesuatu. Akan tetapi mereka mengangkat slogan Nabi s.a.w:

“Orang mukmin kepada mukmin yang lain seperti satu binaan yang saling kuat menguat satu sama lain”
[Muttafaq ‘alaih]

Lantaran itu kita dapat lihat Ibnu al-Haitham, Ibnu al-Nafis dan Ibnu Rusyd saling lengkap melengkapi
kepakaran mereka.
Setiap seorang daripada mereka saling menguatkan yang lain untuk meninggikan binaan
Islam.

Akan tetapi pada zaman yang semakin kabur ghayah, bercampur aduknya visi hidup serta bersimpang siurnya misi masyarakat, pada saat yang sama binaan Islam semakin goyah dan rapuh, siapakah yang ingin mewakili umat mengembalikan binaannya yang agung?

Siapakah yang akan mewakili umat mengembalikan manusia kepada Tuhannya, memerdekakan mereka daripada belenggu syahwat, hawa dan material?

Siapakah yang akan mewakili umat menyelamatkan mereka daripada kejahilan?

Siapakah yang akan mewakili umat mempamer keindahan kesyumulan Islam dan membongkar wajah hodoh sekular?

Siapakah yang akan mewakili umat mengembali martabat syari’at serta menumbang kezaliman hukum manusia?

Siapakah yang akan mewakili umat menyekat ancaman serangan Zionis dan Salibi Antarabangsa?

Siapakah yang akan mewakili umat memecah monopoli Yahudi dan US, menyediakan barangan alternative kepada barangan mereka?

Siapa? Siapa? Siapa?

Pastikan kita!!!

 

AL-AQA’ID

 

AL-AQA’ID

Al-Aqa’id : Perkara dalam hati (keyakinan), sehingga jiwa menjadi tentram karenanya tanpa adanya keraguan dan kebimbangan.

 Tingkatannya :

1.                  Ada dari mereka yang mentalaqqi aqidah itu begitu saja dan meyakininya, karena adat istiadat.  Model pemahaman ini sangat rawan untuk diserang kebimbangannya, terutama jika menemui berbagai macam syubhat.

2.                  Adapula yang sampai menganalisa dan berpikir, sehingga bertambah keimanannya dan makin kuat imamnya.

3.                  Sementara adapula yang terus menerus menganalisa dan proses perenungan, berusaha dengan sungguh-sungguh untuk taat kepada Allah SWT, dan melaksanakan perintah-Nya.  Sehingga lantera hidayah memancar dalam kalbunya, sehingga dia dapat memandang dengan cahaya bashirahnya.  Maka sempurnalah Imanya.

Penghargaan Islam kepada Akal

Allah SWT sangat memuliakan akal, dengan menjadikannya sebagai salah satu syarat mukallaf ( pemikul beban syariat).  Islam menjadikannya sebagai faktor adanya taklif (kewajiban menjalankan agama), dan memerintahkannya untuk selalu meneliti, menganalisa, dan berfikir.

Firman Allah : ( Yunus:101, Qaaf: 6-11, Ali Imran: 190)

Allah sangat mencela jika umatnya tidak  mau berfikir dan menganalisa

( Yusuf:105,  Hr. Ibnu Abid Dunya dalam kitap At Tafakkur)

Bagian-Bagian Aqidah Islamiah

 

1.                  AL-Ilahiyat :

Bagian ini membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah swt, dari segi sifat-sifat, asma, dan perbuatan-Nya, ditambah dengan apa yang harus diyakini seorang hamba perihal Tuhannya.

2.                  An-Nubuwwat :

Bagian yang membahas segala sesuatu yang terkait dengan para nabi, dari sisi sifat-sifat mereka, kema’shuman, tugas, dan urgensi kebutuhan kepada risalah mereka. Yang termasuk dibagian ini adalah apa yang berhubungan dengan para wali, mukjizat, karamah, serta kitap-kitap samawi.

3.                  Ar-Ruhanniyah : 

Bagian yang membahas apa saja yang berhubungan dengan alam supranatural, seperti malaikat, jin, dan ruh.

4.                  As-Sam’iyyaat :

Bagian yang membahas kehidupan yang berkaitan dengan alam barzakh dan kehidupan akherat, kondisi dialam kubur, tanda-tanda hari kiamat, hari kebangkitan, perhitungan, dan pembalasan.

 

MADZHAB ULAMA SALAF DALAM MEMAHAMI AYAT DAN HADIST SIFAT 

Menurut ulama salaf :        

Kita beriman kepada ayat-ayat dan hadist-hadist sebagaimana adanya, dan menyerahkan penjelasan tentang maksudnya hanya kepada Allah SWT.  Mereka menetapkan adanya “ tangan, mata, bersemayam, tertawa, takjub, dan sebagainya dengan maksud yang tidak kita ketahui, maka kita serahkan kepada Allah SWT cakupan dan kandungannya.

 

Rasulullah berkata:

Berfikirlah kalian tentang ciptaan Allah dan jangan berfikir tentang dzat Allah, karena kalian tidak bakal menjangkaunya.

 

Pendapat Al-Iraqi,

Diriwayatkan dari Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dengan sanad lemah, diriwayatkan oleh Al-Asnahani dalam At Targhib wat Tarhib dengan sanad yang lebih baik, juga diriwayatkan oleh Abu Syaikh, dengan kesepakatan mereka. (Semoga Allah meridhoi mereka) – akan penafian adanya persamaan antara apa yang ada pada Allah dan apa yang ada pada makhluknya.

 

Pendapat Qasim Al-Lalikai dalam Ushulus Sunnah dari Muhammad bin Hassan, sahabat Abu Hanifah.

Para ahli fiqih, seluruhnya dari timur hingga barat, sepakat tentang kepada keimanan kepada ayat-ayat al-Quran dan hadist nabi yang diriwayatkan dari Rasululllah saw, tentang sifat Allah tanpa tafsir (interprestasi), washf  ( menyifati, dalam pengertian tidak pada tempatnya), dan tasybih. Barang siapa yang melakukan interpretasi, maka telah keluar dari jamaah.

 

Pendapat Harmalah bin Yahya,

Barang siapa menyifati sesuatu dzat Allah, seperti dalam firman Allah. “ Berkatalah orang-orang Yahudi, tangan Allah terbelenggu, dengan menyilangkan leher dan seperti firman Allah, dan Dia maha mendengar dan maha melihat, dengan petunjuk telinga, mata atau sebagian dari kedua tangannya, maka dia jatuh dari kesalahan, karena menyamakan Allah dengan dirinya.

 

Pendapat Al-Khalal, dalam buku As-Sunnah dari Hambal.

Kita beriman kepadanya dan membenarkannya, tanpa bertanya bagaimana maknanya, tanpa menolak sesuatu pun darinya.


Diriwayatkan dari Abu Bakar Al-Atsram, dan Abu Abdullah bin Abu Salamah Al-Majisyun,

Apapun yang yang Allah sifatkan untuk diri-Nya, dan yang disifat secra lisan oleh Rasul-Nya, kita menyifati dengan itu juga.

Ketahuilah, bahwa keterlidungan dalam agama adalah jika engkau berhenti (dalam pembahasan) pada sebuah titik dimana engkau dihentikan dan tidak melampui suatu batas yang telah ditetapkan untukmu.  Sedangkan apapun yangengkau ingkari, tidak kau dapatkan dalam kitap Tuhanmu, dan tidak pula dalam hadits nabimu, janganlah engkau membebani dirimu untuk mencari-cari kandungan maknanya dengan pikiranmu dan kau sifati itu dengan lisanmu.

Jika engkau mencari-cari ma’rifat akan sesuatu yang tidak Allah sebutkan untuk diri-Nya, seperti menolaknya, membesar-besarkan apa-apa yang telah diingkari oleh para pengingkar, mwembesar-besarkan keterangan para penyifat terhadap apa-apa yang Allah sifatkan atas diri-Nya, maka demi Allah, telah terhormatlah kaum muslimin tanpanya. Yakni , mereka yang berma’rifat kepada yang ma’ruf, yang dengan ma’rifatnya dia dikenal, merekalah yang mengingkari kemungkaran. Yang dengankemungkarannya itulah ia diingkari.

QS. An-Nisa:115

Barang siapa menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami barkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahanam dan seburuk-buruk tempat kembali.

 MADZHAB ULAMA KHALAF DALAM MEMAHAMI AYAT DAN HADIST SIFAT

 

Ulama khalaf berkata “Kami menetapkan bahwa makna-makna kata dalam ayat-ayat dan ahdits-hadits ini tidak dikehendaki lahirnya. Atas dasar itu, boleh-boleh saja dita’wil dan tidak ada larangan.” Mereka pun menta’wil “wajah” dengan dzat, “tangan” dengan kekuasaan, dan semisalnya, dengan tujuan memalingkannya dari tasybih.

 

Contohnya, berkata Abu fajr bin Al jauzi Al hambali dalam bukunya Daf’u Syu’batit Tasybih, Allah berfirman. “Dan tetaplah wajah Tuhanmu.” (Ar Rahman:27) Berkata para ahli tafsir,”Yakni tetaplah Tuhanmu.” Mereka juga berkata tentang firman Allah, “Mereka menginginkan wajah-Nya” (Al An’am:52) sebagai menginginkan-Nya”. Berkata Adh Dhahhak dan Abu ubaidah tentang ayat,”Segala sesuatu iu hancur kecuali wajah-Nya,” (Al Qashash:88) bahwa ia berarti:”Segala sesuatu hancur, kecuali Dia”.

 

Dahulu, dua pandangan ini menjadi objek pembahasan dan penyebab perselisihan yang sangat serius di kalangan apra ulama ilmu kalam. Masing-masing pendukung menyodorkan dalil dan argumentasinya.

Sebearnya, jika engkau membahasnya dengan teliti, jarak perbedaan antara dua pandangan ini tidaklah demikian leabrnya, jika saja masing-masing pihak melepaskan sikapnya yang berlebihan, maka akan ada pada satu eksimpulan: tafwidh (penyerahan) kepada Allah swt.

 

ANTARA SALAF DAN KHALAF

 

1.          Kedua kelompok ini sepakat dalam menyucikan Allah dari penyamaan dengan mahluk-Nya.

2.          Semua sepakat bahwa kata-kata dalam Al Quran dan hadits tentang hak-hak Allah bukanlah apa yang tersirat dilahirnya, sebagaimana dinisbatkan kepada mahluk.

3.          Semua pihak mengetahui bahwa lafal itu diletakkan untuk mengungkapkan sesuatu yang membersit dalam benak hal-hal yang berhubungan dengan pemilik bahasa. Hakikat lafal yang berhubungan dengan lafal dzat Allah termasuk dalam kategori ini.

 

Jika demikian maka antara salaf dan khalaf sebenarnya sepakat-secara prinsip- atas keharusan ta’wil. Perbedaan keduanya hanya bahwa khalaf emnambahkan permbatasan makna yang dikandungd engan tetap menjaga kesucian Allah dengan maksud menjaga aqidah orang awam dari keterjerumusan dalam tasybih.

 

Tarjih Madzhab Salaf

 

Kami berkeyakinan bahwa pendapat salaf-yakni diam dan menyerahkan kandungan kepada Allah- itu lebih utama, dengan memotong habis ta’wil dan ta’thil (penafian).  Bersamaan dengan itu , kami juga meyakini bahwa ta’wil-ta’wil kaum khalaf tidak mengharuskan jatuhnya vonis kekafiran dan kefasikan atas mereka dan tidka pula menjadikan munculnya pertikaian secara berlarut-larut antara mereka dan selainnya, dahulu maupun sekarang.

 

Ringkasnya, ulama khalaf dan salaf telah sepakat bahwa kandungan maksud itu bukan lahirnya lafal sebagaimana yang dikenal untuk disandarkan kepada mahluk. Ia adalah ta’wil secara global. Mereka juga sepakat bahwa semua bentuk ta’wil yang bertentangan dengan ushul syari’ah itu tidak boleh.

 

Persoalan penting yang semestinya harus ditegakkan oleh kaum muslimin adalah tauhidush shuhuf (penyatuan barisan) dan jam’ul kalimah (menghimpun kata) sedapat yang kita lakukan.

 

 

 

 

 

 

IJIN OPERASIONAL PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN























Aplikasi YPPRMS

Informasi Pembiayaan 2024

 INFORMASI BIAYA KEUANGAN TAHUN PELAJARAN 2024/2025 Assalamu'alaikum Wr Wb Sehubungan dengan dibukanya Masa Pembelajaran Semester 1 Tahu...